-->
Makalah Kepemilikan dan Hak Milik

Makalah Kepemilikan dan Hak Milik

Makalah Kepemilikan dan Hak Milik

Kepemilikan dan Hak Milik
Latar Belakang
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta. Bahwa harta pada hakikatsnya adalah milik Allah. Islampun mengakui kebebasan pemilikan, dan hak milik pribadi yang dijadikan sebagai landasan pembangunan ekonomi, apabila berpegang teguh kepada kerangkannya yang dibolehkan dan sejalan pula dengan ketentuan-ketentuan Allah. Yakni diperoleh melalui jalan halal, dan pengembangannya dengan cara yang dihalalkan dan disyariatkan. Islam mewajibkan atas pemilikan ini sejumlah kewajiban yang bermacam-macam, seperti kewajiban zakat, sadaqah, dan sebagainya.


Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud Kepemilikan
  2. Apasaja yang mengatur hak milik
  3. Apasaja jenis-jenis kepemilikan
  4. Apasaja macam-macam kepemilikan
  5. Apasaja sebab-sebab kepemilikan



Pengertian Kepemilikan
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah. Seseorang yang ingin memiliki sesuatu harus memiliki proses perpindahan yang sesuai dengan syariat Islam. Islampun mengakui kebebasan pemilikan, dan hak milik pribadi yang dijadikan sebagai landasan pembangunan ekonomi, apabila berpegang teguh kepada kerangkannya yang dibolehkan dan sejalan pula dengan ketentuan-ketentuan Allah. Yakni diperoleh melalui jalan halal, dan pengembangannya dengan cara yang dihalalkan dan disyariatkan. Islam mewajibkan atas pemilikan ini sejumlah kewajiban yang bermacam-macam, seperti kewajiban zakat, sadaqah, dan sebagainya. Demikian pula Islam melarang kepada pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi, atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia.  
Di dalam Islam, hakikat kepemilikan atas alam beserta isinya secara mutlak berada ditangan Allah SAW, Sedangkan kepemilikan manusia bersifat tidak mutlak hanya sebagai pemberian Allah, agar manusia mampu mengatasi kebutuhannya serta sebagai hamba Allah yang senantiasa mengabdi kepadanya baik didunia maupun diakhirat. 
Islam datang sebagai ajaran yang mengatur tentang segala bentuk aktivitas manusia, yang berkaitan dengan  masalah ekonomi.  Berbeda dengan pandangan kapitalis dan sosialisme harta benda menurut Islam bukanlah milik pribadi dan bukan pula milik bersama  melainkan millik Allah SAW. Salah satu bentuk aktivitas yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah masalah kepemilikan (al-milkiyyah). Besarnya keinginan manusia untuk mempunyai apa yang ada di dunia ini membuat dirinya lupa akan ketentuan dan aturan tentang kepemilikan. Karena bentuk keserakahan manusia yang ingin memiilki harta begitu besar. Dan tidak menyadari bahwa harta yang dimiliki hanyalah titipan dari Allah  SAW.
Kepemilikan terhadap harta di dalam Islam diatur dan diarahkan kepada kemaslahatan. Hal ini berkaitan dengan masalah hak milik, dan batasan-batasan bagi pemiliknya baik cara memperolehnya maupun cara menggunakannya. Karena itulah di dalam Islam mempertahankan harta menjadi salah satu tujuan yang  disyariatkan dalam hukum Islam. Yang utama, selain perlindungan terhadap agama Islam, jiwa, akal dan kehormatan. Harusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya  Allah lah yang menciptakan segalanya, semua upaya dan usaha yang sebenarnya hanya milik Allah semata.


Ada beberapa pengertian tentang “kepemilikan”
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.
Kepemilikan (al-milikyah) berasal dari kata al-milkun artinya yang berada dalam kekuasaannya. Kepemilikan menurut istilah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat dimiliki oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Dan orang lainpun tidak mempunyai berhak untuk mengambil, atau memilikinya tanpa seizin pihak yg memilikinya.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Muslim, yang artinya :
"Dari Abu Hurairah RA berkata: ada seorang laki-laki menghadap rasulallah SAW, ia berkata: ya Rasulullah bagaimana pendapat kamu jika ada seorang laki-laki yang ingin merampas hartaku?"
Rasulullah menjawab,"jangan kau berikan hartamu"
  ia berkata,"bagaimana pendapat kamu jikalau ia ingin membunuhku?"
  Rasulullah bersabda,"bunuhlah dia"
ia berkata,"bagaimana pendapatmu jika dia membunuhku?"
  Rasulullah bersabda,"kamu mati syahid"
  ia berkata,"bagaimana pendapatmu jikalau aku berhasil membunuhnya?"
Rasulullah bersabda,"ia masuk neraka". (HR Muslim).
Dalam hadits di atas memberikan pengertian bahwa kita sebagai seorang muslim harus menjaga dan berusaha mempertahankan harta yang dimiliki meskipun kita harus mempertaruhkan nyawa sekalipun, dan apabila kita mati, kita nantinya akan mati dengan keadaan mati syahid.Sama saja kita menjaga dan memepertahankan agama keluarga hingga meninggal dengan keadaan syahih. Artinya benda yang sudah menjadi milik kita sepenuhnya. Orang lain tidak bisa memanfaatkannya.
Diantara sasaran pokok syariat Islam adalah membebaskan manusia dari kemiskinan menuju kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Al-Quran dan Al-Sunnah menekankan agar setiap manusia bekerja secara produktif, mengolah kekayaan agar menjadi sumber ekonomi sebagai penunjang kebutuhan hidupnya.
Islam mengatur adanya hak milik (kepemilikan) bagi individu maupun kolektif. Pada hakekatnya merupakan wujud keberpihakan Islam pada upaya untuk  membebasan manusia dari kemiskinan dengan memberikan sarana dan sumber daya alam yang siap dikembangkan secara ekonomis. Oleh karena konsep kepemilikan dalam islam memiliki implikasi terhadap pengembangan ekonomi umat.
Serta diharamkan pula mengembangkan harta dengan cara yang merusak nilai dan akhlak, seperti menjual benda-benda yang diharamkan dan memakan harta dengan cara yang batil atau tanpa kompensasi yang baik berupa pekerjaan ataupun harga, shadaqah, wasiat, waris dan sebagainya. Firman Allah dalam QS an-Nisa 5:29, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu...”. Sehingga, dalam prespektif Islam, sekalipun dikatakan bahwa kepemilikan itu adalah merupakan sebuah “pemberian” dari satu pihak ke pihak yang lain, tetapi pada hakikatnya merupakan milik Allah swt.

Ketentuan yang mengatur Hak Milik
Maka pada umumnya menurut M.A Mannan terdapat ketentuan syariat yang mengatur hak milik pribadi, yakni:
  • Pemanfaatan kekayaan.

Islam tidak hanya menghendaki pertumbuhan berimbang, tetapi juga pembagian kekayaan yang berimbang. Karena sesungguhnya tujuan system perekonomian Islam adalah untuk melakukan pembagian kekayaan yang seluas-luasnya, dan paling berfaedah melalui lembaga yang didirikan serta melalui dorongan moral. Menurut KItab Suci al-Qur’an (QS al-Hasyr 59:7)
مَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ - 59:7
Kekayaan harus tersebar secara terus-menerus diantara semua lapisan masyarakat dan jangan dimonopoli orang kaya saja. Ketentuan umumnya adalah bahwa kekayaan harus digunakan di semua zaman dengan cara yang benar untuk kebaikan diri sendiri dan juga untuk kabaikan masyarakat. 
  • Pembayaran zakat.

Ketentuan kedua ini mewajibkan perilaku pemilik kakayaan pribadi harus membayar zakat sebanding dengan kekayaan yang dimiliki. “Emas, perak, uang, hasil, pertanian ternak, usaha perdagangan dan apa saja yang dimiliki oleh seseorang selama hidupnya merupakan “harta benda” yang wajib dizakatkan. Akhirnya, semua hal yang ditujukan untuk kebaikan kaum muslimin secara keseluruhan dan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi adalah “berbakti di jalan Allah”, karena merupakan zakat. 
  • Penggunaan yang berfaedah di jalan Allah.

Pengertian dalam hal ini ialah, semua hal yang berfaedah bagi masyarakat sacara keseluruhan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagaimana kutipan dalam Al-Qur’an berikut ini yang berisikan seluruh filsafat tentang pemakaian, pemberian dan penggunaan kekayaan.  Termaksud infaq dan sedekah yang sangat dianjurkan, namun tidak sampai pada tahap wajib sebagaimana zakat.
Prinsip saling tolong-menolong diantara umat manusi inilah yang memperoleh ruang luas dalam Islam, yakni memberikan kesempatan agar membelanjakan hartanya untuk kepentingan umum. 
QS al-Baqarah 2:261,
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ  
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir; pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
QS al-Baqarah 2:272
لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ 
Artinya: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan kerena mencarai keridhoan Allah. Dan apa saja harta yang baik kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalannya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiyaya”.
QS al-Baqarah 2:274
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ 
Artinya: “Orang-orang yang menfkahkan hartannya, di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi tuhan-Nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
  • Penggunann yang tidak merugikan.

Prinsip yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah harta benda jangan dijadikan hak istimewa yang terkhusus bagi segelintir orang saja. Hukum Islam lebih condong untuk memberikan hak yang lebih besar kepada masyarakat. Ahli hukum Ibnu Al-Qayyim berkata mengenai persoalan ini:
“Bila orang merenungkan hokum yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa bagi ciptaan-Nya, ia akan mengetahui bahwa semua itudirancang untuk menjamin adanya keseimbangan manfaat dan bila terjadi perselisihan, hal yang lebih penting harus diutamakan dari pada hal yang yang kurang penting. Adanya hukum untuk mencegah tindaka yang merugikan, namun bila kerugian tidak terelakkan maka yang dipilih adalah yang lebih ringan mudharatnya. Inilah prinsip yang terkandungdalam hokum Tuhan, yang dengan penuh perasaan berbicara tentang kebijaksanaan dan belas Kasih-Nya”. (Miftah al-Saadah: 350).
Dalam semua hal, dicari keseimbangan antara berbagai kepentingan, dan hendak yang paling banyak adalah mengusahakan keuntungan dan mencegah kerugian. Islam meningkatkan dasar moral ini dengan menanamkan rasa takut terhadap Tuhan: dalam praktek ini berarti menghindari perilaku anti-sosial dalam segala bentuk dan rupa secara berhati-hati.
-Pemilikan yang sah.
Ketentuan ini tercantum dalam Kitab Suci Al-Qur’an (QS An-Nisa’4:24). Semua tindakan untuk memperoleh harta benda dengan cara melawan hukum, itu dilarang karena pada akhirnya akan merusak suatu bangsa. Demikian pula bia mendapatkan hak milik melalui keputusan pengadilan dengan cara yang tercela.
-Penggunaan berimbang.
Menggunakan harta secara berimbang yaitu jangan boros ataupun kikir. Dalam QS al-Isra: 29 yang artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya) janganlah kamu terlalu mengulurnya agar kamu tidak tercela dan menyesal”.

Dengan cara ini Islam mempertahankan keseimbangan dalam menggunakan harta benda. Walaupun sulit untuk melakukan pengawasan efektif terhadap hal ini, suatu carauntuk mencegah kekikiran yang tidak layak adalah dengan mengenakan pakak progresif berat, yang mungkin dapat membujuk si kikir menyadari bahwa tidak ada gunanya terlalu serakah. Bila keserakahan setara dengan penimbunan atau monompoli, negara berhak untuk mengekangnya baik melalui perundang-undangan atau tindakan langsung.
  • Pemanfaatan sesuai hak.

Hal ini memberikan ketentuan pada penggunaan harta benda dengan menjamin manfaatnya bagi si pemilik. Dalam Islam negara harus menjamin bahwa harta tidak akan dipakai untuk mencapai tujuan bagi kepentingan diri sendiri dengan jalan merugikan orang banyak. Hukum menjamin kebebasan ekonomi, social dan politik dan tidak tunduk pada kekuasaan ekonomi.
  • Kepentingan kehidupan.

Syariat memberikan tekanan pada kepentingan kehidupan. Karena persoalan pengawasan dan pembagian harta tidak timbul setelah kematian pemiliknya, maka kepentingan bagi mereka yang masih hidup harus terjamin dengan mempraktekkan hukum waris Islam.
  • Kepemilikan yang Dilindungi Islam

Islam tidak melindungi pemilikan yang didapatkan melalui cara yang haram, sebaliknya meluaskan perlindungan jika harta tersebut didapatkan melalui cara yang dibenarkan syariat. Sebagaimana dikemukakan Imam Ghazali ada dua cara pemilikan harta bisa melalui ikhtiar seperti barang tambang, atau tanpa ikhtiar dari pemiliknya seperti warisan. Adapun harta yang diambil dengan jalan zaling meridhoi, ada yang melalui penggantian seperti jual beli, mas kawin dan upah. Dan tanpa penggantianseperti hibah dan wasiat. 
Dengan demikian ada enam jenis harta yang dilindungi oleh Islam, yaitu:
  1. Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misalnya barang tambang, menggarap (menghidupkan) lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai dan mengambil rerumputan.
  2. Diambil dari pemiliknya karena ada unsur halal, seperti harta rampasan perang. Harta tersebut halal bagi kaum muslimin asal mengeluarkan satu perlima (1/5) nya untuk dibagikan kepada para mustahik dengan adil.
  3. Diambil secara paksa dari pemiliknya, karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misalnya zakat. Harta tersebut menjadi halal dengan syarat harus terpenuhi sebab-sebab pengambilan (syarat wajib zakat: Islam, sempurna ahliyah-nya, sempurna kepemilikan, berkembang, nisab dan haulnya) , terpenuhi syarat orang yang menerimanya (mustahiq), jumlah juga sesuai dengan hak yang perlu diambil (nisab dan haulnya), disamping terpenuhi syarat orang yang mengambilnya, baik hakim, ataupun pemerintah.
  4. Diambil secara sah dengan pemiliknya dengan diganti, misalnya kegiatan jual beli dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang merusak.Harta itu menjadi halal apabila terjaga syarat pertukarannya, syarat dua orang yang melakukan akad, dan syarat ijab dan qabul.

Diambil secara sah dari pemiliknya dan tidak diganti, misalnya hadiah, wasiat ataupun shadaqoh. Harta ini menjadi halal apabila terpelihara syarat akadnya, syarat orang yang melakukan akad, syarat benda yang diakadkan, dan tidak mengakibatkan kemudharatan, baik kepada ahli waris maupun kepada yang lainnya.
Dihasilkan tanpa ikhtiar atau tanpa diminta. Misalnya harta warisan sesudah dilunasi hutang-hutang dan dilaksanakan wasiat, dan pembagian yang adil bagi ahli waris, mengeluarkan zakatnya, menghajikannya dan membayarkan kafarahnya, bila hal itu wajib.
Kunjungi makalah tentang Ekonomi

Jenis-jenis kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. 
Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.


Macam-macam kepemilikan
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu :
  • Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
Adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja (al-’amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqoh, pegawai negeri atau swasta.

  • Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
Adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb.

  • Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.



Penyebab kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:
  1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang di perbolehkan
  2. Akad adalah Perjanjian antara penjual dan pembeli
  3. Penggantian
  4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki

Kepemilikan yang sah menurut Islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang disahkan Islam dan menurut pandanga fiqh Islam terjadi karena:
  1. Menjaga hak Umum
  2. Transaksi Pemindahan Hak
  3. Pergantian posisi Pemilikan

Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan seseorang atas suatu barang dapat diperoleh melalui suatu lima sebab, yaitu
-Bekerja
Suatu kegiatan manusia guna untuk memenuhi kebutuhan dan menyambung hidup.
-Warisan
Pemindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, sehingga ahli warisannya menjadi sah untuk memiliki harta warisan tersebut. Hal ini telah dijelaskan dalam hukum-hukum yang sudah sangat jelas, Allah berfirman: "Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka untuk anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan)" (QS.An Nisa :11).
-Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
Sebab kepemilikan adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup. Sebab kehidupan adalah hak bagi setiap orang. Seseorang wajib untuk mendapatkan kehidupan sebagai haknya. Salah satu hal yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah dengan bekerja. Jika ia tidak bekerja karena terlampau tua, maka orang-orang kaya atau Negara wajib untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika hal itu tidak dipenuhi, hingga kelaparan, maka dibolehkan baginya untuk mengambil apa saja yang dapat digunakan untuk menyambung hidupnya. Jika hidup menjadi sebab untuk mendapatkan harta, maka syariat tidak akan menganggap itu sebagai tindakan mencuri.

Abu Umamah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda:
"Tidak ada hukum potong tangan pada masa-masa kelaparan ." (HR.al Khatib Al Bagdad )
  • Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat

Yang termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara kepada rakyat yang diambil dari baitul maal, baik dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan atau cara memanfaatkan kepemilikan mereka. Dapat berupa pemeberian tanah untuk digarap, atau melunasi utang-utang mereka.
  • Harta yang diperoleh seseorang tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun

Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperboleh dari tanpa harta dan tenaga ada lima yaitu:
  1. Hubungan antara individu satu sama lain ketika masih hidup seperti Hibah dan Hadilah atau pun ketika sepeninggal mereka seperti wasiat.
  2. Menerima harta sebagai ganti rugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang, seperti Diyat (denda) atas orang yang terbunuh atau terluka.
  3. Memperboleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
  4. Barang temuan (luqathah)
  5. Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya.

Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di blantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya
  • Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.

Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis,  maka dua persyaratan dibawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu :
  1.  Belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya.
  2. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."

Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala sesuatu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkanusaha-usaha serta inisiatif individu didalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu sesuai syari'at sehingga seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum. Sebenarnya kerangka sistem Islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan individu didalam mencari dan memiliki harta bendadan campur tangan pemerintah (intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap hartayang sangat diperlukan oleh masyarakat, selain itu tidak. Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa dikelola dan dimiliki secara perorangan (KA,POS, Listrik, Air, dan sebagainya), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh Negara untuk kepentingan umum. Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baikitu pribadi maupun umum, yang terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis.Didalam kapitalis, hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hakmilik diabaikan sama sekali. Sedangkan didalam Islam, hak individu itu berada dalamkeadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupunditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatanIslam dalam memandang hak milik.

Kesimpulan
Konsep harta dan kepemilikan dalam islam pada intinya adalah menyadari sepenuhnya bahwa pemilik hak dari segala sesuatu adalah Allah, manusia hanya berlaku sebagai khalifah atau hanya merupakan pemilik sementara dari apa yang dimilikinya. Oleah sebab itu, dalam segala tindakan ekonomi atau kegiatan memperoleh harta kekayaan manusia harus melalui jalan yang diridhoi Nya dan syariat yang baik dalam memperoleh sumber kekayaan tersebut, karena segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawaban diakhirat nanti.






TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments

Advertiser