-->
Makalah Fiqh Pinjaman (‘Ariyah)

Makalah Fiqh Pinjaman (‘Ariyah)

Makalah Fiqh Pinjaman (‘Ariyah)

FIQH PINJAMAN (‘ARIYAH)

Latar Belakang
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, yang mana harta merupakan unsur ndaruri yang tentunya tidak bias ditinggalkan begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan sekunder maupun primer. Untuk dapat memenuhi hidupnya maka terjadilah hubungan yang horizontal yaitu muamalah, karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna dan saling membutuhkan. Karena manusia itu sendiri membutuhkan hasrat untuk mencukupi kebutuhan, yang tentunya tidak ada habisnya kecuali dalam diri manusia tersebut tumbuh rasa sukur dan ihklas kepada tuhan.
Manusia merupakan mahluk sosial yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya maka didalam dunia bisnis islam dikenal dengan istilah muamalah, salah satunya yakni membahas tentang harta. Didalam konteksnya harta hadir sebagai obyek transaksi, sehingga harta pun dapat dijadikan obyek transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam dan sebagainya. Adapun tujuan disusunnya maka ah ini untuk member pengetahuan kepada pembaca  umumnya dan saya khususnya tentang bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan pinjaman yang tentunya berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian pinjaman?
  2. Apa dasar hokum pinjaman?
  3. Apa rukun dan syarat pinjaman?
  4. Bagaimana pendapat para ulama tentang status barang pinjaman?
  5. Apa perbedaan antara pinjaman dengan hutang?
Tujuan

  1. Pengertian pinjaman
  2. Dasar hokum pinjaman
  3. Rukun dan syarat pinjaman
  4. Pendapat para ulama tentang status barang pinjaman
  5. Perbedaan antara pinjaman dengan hutang




Pengertian Pinjaman
Pinjaman ('ariyah) berasal dari kata at-ta'wur yaitu ganti-mengganti pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Adapun 'ariyah secara terminologis berarti pembolehan pemanfaatan suatu barang (oleh pemilik kepada orang lain) dengan tetap menjaga keutuhan barang itu.
Pinjaman (‘ariyah) atau dalam istilah Wahbah Zuhaili, i'arah berasal dari akar kata a’ara, seperti dalam kalimat: اَعَارَهُ الشَّيْءَ artinya, ia memberinya pinjaman.  Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa lafal 'ariyah a dalah nama bagi sesuatu yang dipinjam, diambil dari kata 'ara (malu), karena sesungguhnya dalam mencari pinjaman tersebut ada rasa malu dan aib. Tetapi pendapat tersebut disanggah, karena dalam kenyataannya RasulullahSAW pernah melakukannya. Andai kata meminjam merupakan perbuatan yang memalukan dan perbuatan aib, makasudah pasti Rasulullah SAW tidak akan melakukannya.
Para ulama berpendapat bahwa 'ariyah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu barang yang diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam definisi tersebut terdapat dua versi.  Versi pertama Hanafiah dan Malikiyah mendefinisikan 'ariyah dengan “tamlik al-manfaat” (kepemilikan atas manfaat). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manfaat dari benda yang dipijam dimiliki oleh sipeminjam sehingga ia boleh meminjamkannya kepada orang lain. Sedangkan versi kedua, Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan 'ariyah dengan “ibahah al intifa'” (kebolehan mengambil manfaat). Dari definisi yang kedua dapat dipahami bahwa barang yang dipinjam hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam, tetapi tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.
Terdapat pengertian lain tentang pinjaman, yaitu pengalihan pemilikan dengan jaminan yaitu saya mengeluarkan uang dari pemilikan saya dan pihak lain menyatakan akan menjamin keutuhan bendanya jika berupa barang dan menjaga nilainya jika berupa nilai. Hal-hal yang sejenis yakni yang satu dengan yang lainnya sama, seperti uang, dan sebagainya.
Bagi kaum kecil, usaha bersama simpan pinjam juga merupakan sumber modal. Meski dalam jumlah yang tidak banyak, namun kegiatan simpan pinjam ini merupakan suatu pertolongan yang besar sekali. Usaha simpan pinjam dapat diartikan suatu pendidikan yang dapat digolongkan pada pendidikan pribadi melalui kegiatan sosial (kerjasama antar manusia), bagaimana manusia itu dapat bekerjasama dengan baik dan suatu jalan bagaimana seseorang dapat mengatasi masalah social ekonomi secara bersama.  Didalam kegiatan simpan pinjam ini, bukanlah merupakan suatu usaha pinjam yaitu dimana seseorang dapat meminjam saja, akan tetapi suatu usaha yang dapat membina anggotanya untuk menabung. Oleh karena itu, usaha simpan pinjam harus mempunyai dampak membawa kesejahteraan anggota, tidak hanya menanamkan sikap senang meminjam saja.
Simak Terus Postingan Seperti Pedang

Dasar Hukum Pinjaman
Pinjaman ('ariyah) merupakan perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Al-quran dan sunnah. Dalil dari Alquran dalam surah Al-Maidahayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya; Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat bera tsiksa-Nya.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan umat Islam untuk saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan melarang untuk tolong-menolong dalam keburukan. Salah satu perbuatan baik itu adalah 'ariyah, yakni meminjamkan barang kepada orang lain yang dibutuhkan olehnya.
Dasar hukum 'ariyah bias berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Suatu ketika, 'ariyah kadang-kadang bias wajib, seperti meminjamkan baju untuk menahan panas atau dingin yang luar biasa, dan kadang-kadang bisa haram, seperti meminjamkan amah (hamba sahaya perempuan) kepada orang lain. Di samping itu, 'ariyah kadang-kadang juga bias makruh, seperti seorang muslim meminjamkan barang kepada orang kafir.


Rukun dan Syarat Pinjaman
Menurt Ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah (pinjaman) terdiri dari ijab dan qobul. Ijabqobul tidak wajib di ucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam, namun demikian juga boleh ijab qobul tersebut disampaikan.
Adapun menurut jumhur ulama’ dalam akad ‘ariyah harus terdapat beberapa unsure (rukun), sebagai berikut:
1. Mu’ir (orang yang memberikan pinjaman), dengan syarat:

  • Inisiatif sendiri bukan paksaan
  • Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, bukan dari orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab kebangkrutan atau tidak ada kecakapan dalam mengelola harta.
  • Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada barang semisal dengan menyewakan bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang dipinjamkan bukan menjadi milik haknya melainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.

2. Musta’ir (orang yang mendapatkan pinjaman), dengan syarat:

  • Telah ditentukan, maka tidak sah akad ‘ariyah pada salah satu dari dua musta’ir yang tidak ditentukan. 
  • Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harga kecuali melalui wali masing-masing.
  • Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat:


  1. Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad ‘ariyah pada koin emas atau erak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan, karena manfaat dari koin bukan untuk hiasan.
  2. Musta’ir dapat mengambil kemanfaatan mu’ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akadnya pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti keledai yang lumpuh.
  3. Manfaat mu’ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tidak sah akad /ariyah pada barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti alat musik.
  4. Mu’ar dimanfaatkan dengan membarkan tetap dalam kondisi utuh. Maka tidak sah akad ‘ariyah pada makna nuntuk dikonsumsi atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaatan tersebut dapat menghabiskan barang yang dipinjamkan.



Adapun syarat-syarat pinjaman (‘ariyah) sebagai berikut:
1. Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang yang meminjamkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), meliputi:

  • Baligh. ‘ariyah tidak sah dari anak yang masih dibawah umur, tetapi ulama hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai  syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
  • Berakal. ‘ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
  • Tidak mahjur ‘alaih karena boros atau pelit. Maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang mahjur ‘alaih, yakni orang yng dihalangi tasarruf-nya.
  • Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan. 

2. Syarat-syarat orang yang meminjam

  • Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas, maka ‘ariyahnya tidak sah.
  • Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatulada’. Dengan demikian meminjamkan barang kepada anak dibawah umur, dan gila hukumnya tidak sah. 

3. Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang tersebut bias diambil manfaatnya, baik dalam waktu dekat maupun waktu panjang. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu:

  1. Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah dan mengendarai mobil.
  2. Manfaat yang diambil dari benda yang dipinjam, seperti susu kambing, buah dari pohon, dll. Apabila seseorang meminjam seekor kambing untuk diambil susunya maka ‘ariyah hukumya sah menurut pendapat yang yu’tamad.


  • Barang yang dipinjamkan harus beruapa barang mubah. Yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’. Apabila barang tersebut diharamkan maka ‘ariyahnya tidak sah.
  • Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Maka tidak sah meminjamkan makanan dan minuman  yang sudah pasti habis.

4. Shighat, dengan syarat:
Suatu ungkapan yang dapat menunjukan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjamkan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu” atau ungkapan yang dapat menunjukan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku” dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya.


Pendapat Para Ulama Tentang Status Barang Pinjaman
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hak pemanfaatan pihak peminjam terhadap barang yang dipinjamkan mu’ir kepadanya. Jumhur ulama’ mengatakan, bahwa peminjam hanya boleh memanfaatkan benda yang dipinjamnya sesuai dengan izin mu’ir. Adapun ulama’ Hanafiyah membedakan ‘ariyah menjadi dua macam, yaitu ‘ariyah mutlaqah dan ‘ariyahmuqayyadah. Apabila peminjam melampaui batas yang telah ditetapkan dalam akad, maka dia harus bertanggungjawab terhadap segala konsekwensi yang diakibatkan oleh tidakan di luar akad tersebut.
Para ulama’ juga berbeda pendapat mengenai kedudukan benda yang dipinjamkan oleh mu’ir kepada musta’ir. Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa barang yang dipinjamkan itu merupakan benda amanah di tangan peminjam.
Ulama’ Malikiyah pada dasarnya sependapat dengan kelompok Hanafiyah, bahwa benda yang dipinjam itu merupakan amanah. Hanya saja, Malikiyah mengelompokkan benda yang dipinjam menjadi dua bagian, yaitu benda yang dapat dihilangkan dan benda yang tidak dapat dihilangkan. Untuk benda yang pertama, musta’ir wajib mengganti, apabila dia menghilangkannya, contohnya pakaian, perhiasan dan lain-lain. Sedangkan untuk benda yang kedua, menurut mereka peminjam tidak wajib mengganti apabila benda tersebut hilang.
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa, barang yang dipinjam dianggap sebagai tanggungan sipeminjam, karena itu peminjam  bertanggungjawab sepenuhnya terhadap barang yang dipinjamnya, termasuk apabila barang itu rusak atau hilang dengan sengaja atau tidak. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Hanabilah.
Para ulama’ juga berbeda pendapat mengenai hokum menyewakan atau meminjamkan barang pinjaman kepada pihak lain. Ulama’Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang-barang pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum mengizinkan, jika penggunaannya untuk hal-hal yang berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Ulama’ Hanabilah juga mempunyai pendapat yang sama dengan Hanafiyah dan Malikiyah, yaitu bagi peminjam dibolehkan untuk memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya, selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Maka, menurut ulama Hanabilah, haram hukumnya menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Apabila barang yang dipinjamkan tersebut dipinjamkan lagi oleh
musta’ir kepada orang lain dan mengalami kerusakan tatkala di tangannya, maka pemilik barang berhak meminta ganti rugi kepada salah seorang diantaranya. Dalam keadaan seperti ini lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua, karena dialah yang memegang barang tersebut, ketika ia rusak.
Adapun mengenai hak permintaan kembali barang pinjaman, dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat, bahwa mu’ir berhak untuk meminta kembali barang yang dipinjamkan kepada musta’ir kapan saja. Ketentuan ini berlaku dalam akad ‘ariyah muthlaqah. Tetapi dalam akad ‘ariyah muqayyadah, pemilik barang tidak boleh begitu saja mengambil barang itu apabila kemungkinan untuk pemanfaatannya belum berakhir. Hal ini dimaksudkan adanya kemungkinan untuk menghindari kemungkinan dirugikannya pihak peminjam. Karena itu, apabila tuntutan barang tersebut mengakibatkan kerugian pada musta’ir, maka hendaklah pengembalian dan tuntutannya ditunda, agar kerugiannya dapat dihindarkan. Namun, apabila masa pengembalian manfaat barang telah selesai, makamusta’ir harus segera mungkin mengembalikan barang tersebut kepada mu’ir.
Status barang pinjaman adalah mutlak tanggungjawab peminjam, bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Orang yang meminjam barang kepada pihak lain, diperbolehkan memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan batas-batas yang diridhai pemilik barang. Jika izin yang diberikan pemilik barang mutlak (tidak ditentukan bentuk pemanfaatannya), maka peminjam boleh memanfaatkan sesuai dengan batas kewajaran pada umumnya. Dengan konsep demikian, jika sudah mendapatkan izin dari pemilik barang, maka pihak peminjam boleh meminjamkannya ke orang lain.
Maksudnya dalam system pinjam meminjam ini, apabila dari pihak pemilik barang tersebut memberikan izin atas manfaat suatu barang tersebut, maka diperbolehkanlah orang yang meminjam barang tersebut memanfaatkan barang dari pemilik barang tersebut sesuai dengan izin dari pemilik barang.
Baca juga: Makalah tentang ke-Islaman, Ekonomi


Perbedaan Pinjaman (‘ariyah) dengan Hutang (qardh)
Hutang (qardh) secara estimologis adalah potongan.  Secara istilah bias diterjemahkan sebagai pinjaman uang. Sedangkan pinjaman barang dalam bahasa fiqih biasanya disebut ‘ariyah.
Selain itu perbedaan pinjaman (‘ariyah) dengan hutang (qardh) terletak pada objeknya. Jika pinjaman (‘ariyah) barang yang dipinjam kemudian dikembalikan adalah barang yang harus sama wujudnya. Sedangkan hutang (qardh), pengembalian barang pinjaman tidak harus barang yang sama wujudnya, akan tetapi memiliki nilai yang sama, misalnya dalam meminjam uang.
Hikmah pinjam meminjam (‘ariyah) tidak jauh berbeda dengan hikmah yang terkandung pada hutang (qardh). Karena keduanya sama memberikan kegembiraan terhadap orang yang kesusahan, menghilangkan bencana, terjalinnya tali silaturahmi, juga saling menyayangi. Disisi Allah swt yang memberikan pinjaman tercatat sebagai pelaku kebaikan diberi pahala yang besar dan disenangi oleh sesame serta diakhirat terhindar dari ancaman Allah. Allah telah menakut-nakuti orang yang tidak mau menolong dengan barang berguna berupa ancaman neraka wail dan siksaan yang pedih diakhirat nanti.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-ma’munayat 4-7:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ 4 الِّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَا هُوْنَ 5 الَّذِ يْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ 6 وَ يَمْنَعُوْ نَ الْمَاعُوْ نَ 7
Artinya: “maka celakalah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.


Kesimpulan
Pinjaman (‘ariyah) menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab (الْعَارِيَةُ ) diambil dari kata (عار) yang berarti dating atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناولاوالتناوب) artinya saling tukar menukar, yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diam bila manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap bias dikembalikan kepada pemiliknya.













TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments

Advertiser