Pancasila Sebagai Etika
Latar Belakang
Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia yang memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah “Pancasila sebagai suatu sistem etika”. Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah, sopan santun, dll.
Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan. Inti dan isi Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat (jasmani –rohani), sifat kodrat (individu-makhluk sosial), kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila merupakan penjelmaan hakekat manusia monopluralis sebagai kesatuan
Pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia .Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan di tinggalkan, karena pancasila wajib diamalkan oleh warga Negara Indonesia. Alasan lain karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan gampang untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku, perkataan, perbuatan, serta hati nurani kita masing-masing.
Pancasila sebagai sistem etika ( pengertian etika )
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah- masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, ”baik” dan “buruk”.
- Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Sebagai cabang falsafah, etika membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Dan sebagai cabang ilmu, etika membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
- Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.
Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya etika umum membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya.
- Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial.
- Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggung jawabnya terhadap Tuhannya.
- Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut system politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain.
Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Setiap sila pada dasarnya merupakan asas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematik.
Dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Dan etika mempunyai arti yang berbeda dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.
Baca juga: Makalah Pancasila Sebagai Ideologi
Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.
Pancasila Sebagai Solusi Problem Bangsa
Seperti yang kita ketahui di Indonesia erat dengan kasus korupsi, kerusakan lingkungan dan dekadensi moral. Korupsi sendiri berarti setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Contoh kasus korupsi yang dilansir di website www.berita.suaramerdeka.com, “Pengusaha asal Karangmojo Gunungkidul, Mardi Mulyo divonis satu tahun pernjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan. Direktur PT Kurnia Jaya Mardi Mulyo (KJMM) itu dinyatakan terbukti melakukan korupsi sewa-menyewa bantuan ekskavator di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Gunungkidul.
Akibat tindakannya, sesuai hasil audit BPKP, negara dirugikan sebesar Rp 74,1 juta.“Majelis menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 3, pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” kata Humas PN Yogyakarta, Ikhwan Hendrato, Minggu (29/11). Ikhwan yang juga ditunjuk menjadi ketua majelis hakim dalam penanganan perkara ini mengungkapkan, perbuatan terdakwa tidak dilakukan seorang diri. Namun bersama mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Gunungkidul, Bambang Sudaryanto yang sebelumnya telah divonis 1 tahun 2 bulan penjara. Kasus ini bermula dari pengadaan satu unit ekskavator dari Dirjen Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012. Alat ini diperuntukkan pengembangan perikanan dan minapolitan kelompok pembudidaya ikan di Gunungkidul. Alat berat itu bukannya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok pembudidaya ikan, namun justru disewakan.
Dalam perjanjian yang ditandatangani Bambang dan terdakwa Mardi Mulyo disebutkan bahwa biaya sewa alat Rp 600 ribu per hari. Ekskavator itu disewakan selama periode delapan bulan sehingga totalnya mencapai Rp 102 juta.Atas putusan itu, penasihat hukum terdakwa, Teguh Sri Rahardjo menyatakan masih pikir-pikir. “Kami menyayangkan majelis yang tidak mempertimbangkan materi pledoi bahwa persewaan ekskavator itu diperbolehkan. Itu sesuai surat dari Dirjen,” kata Teguh.Pihaknya juga menilai perkara ini lebih mengarah ke tindak perdata karena ada perjanjian sewa-menyewa. Selain itu, kliennya telah membayar uang rental sesuai perjanjian.”
Kasus selanjutnya adalah kasus kerusakan lingkungan yang belum lama terjadi di Kalimantan Barat, kebakaran hutan di wilayah Kalimantan menyebabkan kabut asap menyebar tidak hanya di Kalimantan. Hal ini menyebabkan kabut asap sudah masuk kategori darurat. Kabut asap menimbulkan dampak negatif diantara lain, yaitu gangguan kesehatan, terganggunya jadwal penerbangan dan kerusakan lingkungan.
Begitu banyak masalah menimpa bangsa ini seperti yang telah diuraikan di atas. Korupsi, kerusakan lingkunan sebenarnya berhulu pada dekadensi moral. Dekadensi moral sendiri berarti krisi moral. Tragisnya, sumber masalah justru berasal dari badan-badan yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, badan-badan inilah yang seharusnya mengemban amanat rakyat. Setiap hari kita disuguhi berita-berita miring yang dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin pembangunan ini. Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat penting dalam mengatasi krisis. Jika krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat diatasi.
Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar, warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial. Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam, tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.
Seorang yang memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi moral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh.
Moralitas individu ini terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang bermoral tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan sebagainya. Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya kurang, hal ini terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk. Sikap toleran, suka membantu seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai kumpulan dari moralitas individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama.
Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan saling tarik-menarik dan mempengaruhi. Moralitas individu dapat dipengaruhi moralitas social, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang moralitas individunya baik ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk dapat terpengaruh menjadi amoral. Kenyataan seperti ini seringkali terjadi pada lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang orang yang bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan mengikuti.
Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki moralitas individu baik akan tidak terpengaruh bahkan dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral buruk tersebut. Moralitas dapat dianalogikan dengan seorang kusir kereta kuda yang mampu mengarahkan ke mana kereta akan berjalan. Arah perjalanan kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan hendak dituju. Orang yang bermoral tentu mengerti mana arah yang akan dituju, sehingga pikiran dan langkahnya akan diarahkan kepada tujuan tersebut, apakah tujuannya hanya untuk kesenangan duniawi diri sendiri saja atau untuk kesenangan orang lain atau lebih jauh untuk kebahagiaan ruhaniah yang lebih abadi, yaitu pengabdian pada Tuhan.
Pelajaran yang sangat berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang berjuang demi meraih kemerdekaan. Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi moralitas mondial telah membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka banyak yang tidak sempat merasakan buah perjuangannya sendiri
Dasar moral yang melandasi perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya. Alinea pertama, “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Alinea ini menjadi payung moral para pejuang kita bahwa telah terjadi pelanggaran hak atas kemerdekaan pada bangsa kita. Pelanggaran atas hak kemerdekaan itu sendiri merupakan pelanggaran atas moral mondial, yaitu perikemanusiaan dan perikeadilan. Apapun bentuknya penjajahan telah meruntuhkan nilai-nilai hakiki manusia. Apabila ditilik dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tampak jelas bahwa moralitas sangat mendasari perjuangan merebut kemerdekaan dan bagaimana mengisinya. Alasan dasar mengapa bangsa ini harus merebut kemerdekaan karena penjajahan bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan (alinea I).
Secara eksplisit founding fathers menyatakan bahwa kemerdekaan dapat diraih karena rahmat Allah dan adanya keinginan luhur bangsa (alinea III). Ada perpaduan antara nilai ilahiah dan nilai humanitas yang saling berkelindan. Selanjutnya, di dalam membangun negara ke depan diperlukan dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Moralitas, saat ini menjadi barang yang sangat mahal karena semakin langka orang yang masih betul-betul memegang moralitas tersebut. Namun dapat juga dikatakan sebagai barang murah karena banyak orang menggadaikan moralitas hanya dengan beberapa lembar uang. Ada keterputusan antara alinea I, II, III dengan alinea IV. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar sekaligus tujuan negara ini telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan kemewahan harta. Egoisme telah mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada sesama.
Lalu bagaimana membangun kesadaran moral anti korupsi berdasarkan Pancasila? Korupsi secara harafiah diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011: 23). Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin menunjukkan ekskalasi yang begitu tinggi. Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan melalui beragam cara/pendekatan, yang dalam hal ini saya menggunakan istilah pendekatan eksternal maupun internal. Pendekatan eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari luar diri manusia yang memiliki kekuatan ‘memaksa’ orang untuk tidak korupsi.
Kekuatan eksternal tersebut misalnya hukum, budaya dan watak masyarakat. Dengan penegakan hukum yang kuat, baik dari aspek peraturan maupun aparat penegak hukum, akan meminimalisir terjadinya korupsi. Demikian pula terciptanya budaya dan watak masyarakat yang anti korupsi juga menjadikan seseorang enggan untuk melakukan korupsi. Adapun kekuatan internal adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri individu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan pembiasaan. Pendidikan yang kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk menanamkan jiwa anti korupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di sekolah maupun non-formal di luar sekolah.
Membangun kesadaran moral anti korupsi berdasar Pancasila adalah membangun mentalitas melalui penguatan eksternal dan internal tersebut dalam diri masyarakat. Di perguruan tinggi penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan kepribadian termasuk di dalamnya pendidikan Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan tentu mampu menurunkan angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi. Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya dibanding kebahagiaan spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan.
Kesadaran manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial manusia, yaitu dari tingkatan yang paling rendah, penghambaan terhadap harta (hal yang bersifat material), lebih tinggi lagi adalah penghambaan terhadap manusia, dan yang paling tinggi adalah penghambaan pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba oleh harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya. Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi.
Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan formal di sekolah dan non- formal di masyarakat. Peran media juga sangat penting karena memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju namun tetap berkepribadian Indonesia.
Kesimpulan
Pendukung dari Pancasila sebagai sistem etika adalah Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti yang tercantum di sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam masyarakat maupun bangsa dan negara.
Baca juga makalah tentang Ke-Islaman, Ekonomi
TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT