-->
Makalah Jual Beli dalam Bisnis Syariah

Makalah Jual Beli dalam Bisnis Syariah

Makalah Jual Beli dalam Bisnis Syariah

Jual Beli dalam Bisnis Syariah 

Latar Belakang
Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutan-ketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual beli (bisnis). Di dalam al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam banyak memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut Islam. Bukan hanya untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli.
Sekarang ini lebih banyak penjual yang lebih mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum Islam. Mereka cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa mengharapkan barokah kerja dari apa yang sudah dikerjakan. Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain, aka selalu melakukan tolong–menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang beraneka ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli. Jual beli merupakan interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan rukun dan syarat yang telah di tentukan. Jual beli diartikan “al-bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah”. Pada intinya jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang mempunyai manfaat untuk penggunanya, kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian yang telah dibuat.

Rumusan Masalah
  1. Apa itu jual beli?
  2. Apa syarat dan rukun jual beli?
  3. Apa saja jual beli yang dilarang dalam Islam?


Tujuan
  1. Menjelaskan apa itu jual beli.
  2. Menjelaskan rukun dan syarat jual beli.
  3. Menjelaskan  jual beli yang dilarang dalam Islam.     



Pengertian Jual Beli
Sebelum membahas jual beli secara mendalam, terlebih dahulu diketahui pengertian jual beli, sehingga pembaca mengetahui dengan jelas apa itu jual beli dan dapat mengetahui apa yang dimakdsud oleh penulis. Jual Beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti Menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu Yang lain. Lafal albai’ dalam bahasa Arab terkadang Digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira (beli) . Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli (Haroen, 2000:111).
Jual beli atau bisnis menurut bahasa berasal dari kata (البيع) bentuk jamaknya (البيوع) dan konjungsinya adalah “با ع – يبيع - بيعا” yang artinya menjual (al-Marbawy, t.th: 72). Menurut bahasa, jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu (Al-Jaziri, 2003:123). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
  • Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (Idris, 1986 :5).
  • Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi

Menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang (al-Ghazzi, t.th:30).
  • Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar

Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara (Taqiyuddin, t.th:329).
  • Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al-Wahab

Tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan) (Zakariya, t.th:157).
  • Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah

Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan (Sabiq, t.th:126).
  • Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis), diantaranya; ulamak Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan (Suhendi, 2007:69-70).



Rukun dan Syarat Jual Beli
Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, Bahwa jual beli (bisnis) merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas kesepakatan bersama. Supaya bisnis yang kita lakukan itu halal, maka perlu memperhatikan Rukun dan syarat jual beli (bisnis). Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS, 2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan (DIKNAS, 2002:1114). Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn) jamaknya arkan, secara Harfiah antara lain berarti tiang, penopang dansandaran, Kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen.
Sedangkan syarat (Arab, syarth jamaknya syara’ith) secara Literal berarti pertanda, indikasi dan memastikan. Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu Yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari Keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan Rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun syarat, menurut terminologi Para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri.
Hikmah Dari ketiadaan syarat itu berakibat pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum (Amin,2004:95). Dalam Syari’ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah Atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah Suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau Tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya Sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510). Definisi syarat berkaitan dengan sesuatu yang Tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia Berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya Menyebabkan hukum pun tidak ada (Dahlan, 1996: 1691).
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul fiqih, yaitu rukun merupakan sifat yang kepadanya Tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam Hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang Kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada Di luar hukum itu sendiri (Dahlan, 1996: 1692). Misalnya, Rukuk dan sujud adalah rukun shalat. La merupakan bagian Dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam Shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah Satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar Shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi Tidak sah. Menurut jumhur ulamak rukun jual beli itu ada Empat (Zakaria, t.th:158), yaitu:
-Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut Bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara Yang disyariatkan sehingga tampak akibatnya (al-Zuhaily, t.th:115).Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy aqad secara Bahasa : 
Al Rabt (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong benda (1979 : 21).
Sedangkan aqad menurut istilah:
(Perkataan antara ijab qabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan kedua belah pihak) (Hasby,1979 : 21).Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara lain yang dapat ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad diantaranya:
1). Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi jual beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
2). Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual beli dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan isyarat. Sehingga muncullah kaidah:
isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (Suhendi, 2007:49).
3). Dengan cara ta’ahi (saling memberi), misalnya, seseorang melakukan pemberian kepada orang lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang memberinya tanpa ditentukan besar imbalan.
4). Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang titipan dengan jalan dalalah al hal.
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad dapat dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut dapat dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul. 

-Kedua, orang yang berakad (subjek) ناعيبلا dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari (pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad dalam jual beli, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya, dan orang yang melakukan harus:
1). Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah orang Islam, dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam benda-benda tertentu. Misalnya, seseorang dilarang menjual hamba sahaya yang beragama islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama islam. Sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, dalam firmannya:
Artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa:141)
2). Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini adalah orang yang dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya. Maka orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sekalipun miliknya sendiri. Sebagaiman firman Allah dalam surat An-Nisa: 5
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An-Nisa:5)
3). Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan Kehendaknya sendiri yaitu bahwa dalam melakukan Perbuatan jual beli tidak dipaksa. Hal ini berdasarkan Hadis nabi Muhammad SAW
Artinya: “Dari Daud Ibn Salih al-Madani dari ayahnya ia berkata “saya mendengar Abi Said al-Khudri berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan dari adanya saling kerelaan” (HR. Ibnu Majah) (Majah, t.th:737).
4). Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum Islam batasan menjadi seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah bermimpi atau berumur 15 tahun dan bagi perempuan adalah sesudah haid.
5). Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir). Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 5 tersebut di atas.

-Ketiga, ma’kud ‘alaih (objek) untuk menjadi sahnya jual beli harus ada ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli (Chairuman dan Suhwardi, 1996: 37). Barang yang di-jadikan sebagai objek jual beli ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan kedalam benda najis atau termasuk barang yang digolongkan diharamkan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
Dari Jabir Ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun kemenangan Makkah: “ Sesungguhnya Allah telah melarang (mengharamkan) jual-beli arak, bangkai, babi dan patung” lalu seseorang bertanya “bagaimana dengan lemak bangkainya, karena dipergunakan untuk mengecat kayu dan minyaknya untuk lampu penerangan? Kemudian Rasulullah SAW menjawab “Mudah-mudahan Allah melaknat orang-orang yahudi karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak bangkai pada mereka, tetapi menjadikannya, menjualnya serta memakannya (hasilnya) (Muslim,t.th: 689). 
Dalam hadis di atas menurut Syafi’iyah diterangkan bahwa arak, bangkai, babi dan patung adalah haram dijual belikan karena najis, adapun berhala jika dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang lainnya (Suhendi,2007:72).
2). Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan harus ada manfaatnya sehingga tidak boleh memperjual belikan barang-barang yang tidak bermanfaat.
3). Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang yang melakukan perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pilihan sah barang tersebut dan atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian jual beli barang yang dilakukan oleh yang bukan pemilik atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik dipandang sebagai perjanjian yang batal (al-Jaziri, 2003:.103).
4). Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, sifatnya dan harganya. Sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak.
5). Barang yang di aqadkan ada ditangan, maksudnya adalah perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam kekuasaan penjual) adalah dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan (Chairuman dan Suhwardi, 1996: 40).
6). Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang haruslah dapat diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat diserah terimakan, karena apabila barang tersebut tidak dapat diserah terimakan, kemungkinan akan terjadi penipuan atau menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak.
Benda yang diperjual belikan dapat mencakup barang atau uang, sifat benda harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaanya menurut syara’. Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal jika dijadikan harga tukar menukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid (Masduki, 1987:5).

-Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar pengganti barang, yaitu sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange). Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam juala beli (bisnis), yaitu syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal ada tiga; (a) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul, (b) Orang – orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan (c) Jangan ada yang memisahkan maksudnya penjual dan pembeli masih ada interaksi tentang ijab qobul.
Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh”. (an-Nisaa’/4 : 5), (b) beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda benda tertentu. Misalnya, dilarang menjual hamba yang beragama Islam kepada orang kafir, karena di takutkan pembeli merendahkan orang yang beragama Islam. Sebagimana firman Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-Orang kafir untuk memusnakan orang-orang yang beriman”.(an-Nisaa’/4:141), (c) ada benda atau barang yang di perjualkan Belikan (ma’kud alaih) dan (d) tidak mubazir (pemborosan) Dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari pihak lain.
Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya; (a) harus suci dan tidak terkena dengan najis, Seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi Dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran Hewan untuk pupuk tanaman, anjing untuk keamanan, (b) Tidak boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, seperti, Apabila ayahku meninggal, aku akan menjual motor ini, (c) Tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh Mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi Hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu Sebab kepemilikan, (d) barang dapat diserahkan setelah Kesepakatan akad, (e) barang yang diperjual belikan milik Sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut Hasil mencuri atau barang titipan yang tidak diperintahkan Untuk menjualkan, (f) barang yang diperjual belikan dapat Diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus Diketahui kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, Supaya tidak menimbulkan keraguan.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa Jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu (1) jual beli benda yang kelihatan, ( 2) jual beli yang disebutkan Sifat-sifatnya dalam janji dan (3) jual beli benda yang tidak Ada (Taqiyuddin, t.th: 329). Jual beli benda yang kelihatan Ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau Barang yang diperjual belikan ada di depan penjual dan Pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti Membeli beras di pasar dan boleh dilakukan. Jual beli yang Disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli Salam (pesanan).
Menurut kebiasaan para pedagang, salam Adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam Pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu Yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Di samping itu, ada beberapa syarat lain berkaitan dengan jual beli, yaitu berkaitan dengan akad salam (pesanan) (a) sifatnya harus memungkinkan dapat dijangkau pembeli untuk dapat ditimbang atau diukur, (b) dalam akad harus disebutkan kualitas dari barang yang akan diperjual belikan, (c) barang yang di serahkan sebaiknya barang yang di perjual belikan dipasar dan (d) harga hendaknya disetujui pada saat ditempat akad berlangsung. Apabila dalam akad salam (pesanan) penjual dan pembeli tidak melaksanakan salah satu syarat yang telah ditentukan maka akad jual beli itu belum dikatakan sah dalam syara’ yang berlaku.


Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam 
Islam tidak mengharamkan perdagangan kecuali perdagangan yang mengandung unsur kezhaliman, penipuan, eksploitasi, atau mempromosikan halhal yang dilarang. Perdagangan khamr, ganja, babi, patung, dan barang-barang sejenis, yang konsumsi, distribusi atau pemanfaatannya diharamkan, perdagangannya juga diharamkan Islam. Setiap penghasilan yang didapat melalui praktek itu adalah haram dan kotor.  
Jual beli yang dilarang di dalam Islam di antaranya sebagai berikut:  
  1. Menjual kepada seorang yang masih menawar penjualan orang lainnya, atau membeli sesuatu yang masih ditawar orang lainnya. Misalnya, tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal‛. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain.  
  2. Membeli dengan tawaran harga yang sangat tinggi, tetapi sebetulnya dia tidak menginginkan benda tersebut, melainkan hanya bertujuan supaya orang lain tidak berani membelinya. 
  3. Membeli sesuatu sewaktu harganya sedang naik dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, kemudian barang tersebut disimpan dan kemudian dijual setelah harganya melambung tinggi. 
  4. Mencegat atau menghadang orang-orang yang datang dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar.  
  5. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya. Misalnya menjual buah anggur kepada orang yang biasa membuat khamr dengan anggur tersebut.  
  6. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.  
  7. Jual beli secara ‘arbun, yaitu membeli barang dengan membayar sejumlah harga lebih dahulu, sendirian, sebagai uang muka. Kalau tidak jadi diteruskan pembelian, maka uang itu hilang, dihibahkan kepada penjual.  
  8. Jual beli secara najasy (propaganda palsu), yaitu menaikkan harga bukan karena tuntutan semestinya, melainkan hanya semata-mata untuk mengelabui orang lain (agar mau membeli dengan harga tersebut).  
  9. Menjual sesuatu yang haram adalah haram. Misalnya jual beli babi, khamr, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, juga patung, lambang salib, berhala dan sejenisnya. Pembolehan dalam menjual dan memperdagangkannya berarti mendukung praktek maksiat, merangsang orang untuk melakukannya, atau mempermudah orang untuk melakukannya, sekaligus mendekatkan mereka kepadanya. .Jual beli yang tidak transparan. Setiap transaksi yang memberi peluang. 

Terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual tidak transparan, atau ada unsur penipuan yang dapat membangkitkan permusuhan antara dua belah pihak yang bertransaksi, atau salah satu pihak menipu pihak lain, dilarang oleh Nabi SAW. Misalnya menjual calon anak binatang yang masih berada dalam tulang punggung binatang jantan, atau anak unta yang masih dalam kandungan, burung yang berada di udara, atau ikan yang masih di dalam air, dan semua jual beli yang masih ada unsur tidak transparan.


Kesimpulan
Bagi umat Islam yang  melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum Islam, akan mendapatkan berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam Islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagain pahala, (b) bisnis dalam Islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya barang yang dimakan untuk dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam Islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (e) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan  sebagai mana diajarkan dalam Islam akan selalu menjalin persahabatan kepada sesama manusia.







TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments

Advertiser