Hubungan Stakeholder, Konsumen, dan CSR
Latar Belakang
Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or project (Dialogue by Design 2008). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya.
Menurut Witold Henisz guru besar pada Sekolah Bisnis Wharton, termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan internasional. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam artikel tahun 1994) memberikan definisi pemangku kepentingan secara lebih khusus sebagai suatu kelompok atau individu yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘Stakeholders sukarela’), ataupun karena mereka menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’). Berdasarkan pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan dipengaruhi secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Rumusan Masalah
- Jelaskan pengertian dari Stakeholder!
- Bagaimana cara mengidentifikasi pelanggan?
- Bagaimana cara bertanggung jawab dalam perusahaan?
- Jelaskan mengenai tipologi pemangku kepentingan!
- Jelaskan nilai-nilai perlibatan pemangku kepentingan!
Tujuan
- Agar dapat menjelaskan pengertian stakeholder.
- Agar dapat mengidentifikasikan pelanggan dalam perusahaan.
- Agar dapat menjalankan tanggungjawab dalam perusahaan.
- Agar dapat mengetahui tentang tipolohi dan nilai-nilai perlibatan pemangku kepentingan.
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
“Society is a network of voluntary relationships between individuals and organized groups, and strictly speaking there is hardly ever merely one society to which one person exclusively belongs.”
Pada tahun 1984 terbit sebuah buku karangan R. Edward Freeman yang berjudul “Strategic Management: A Stakeholder Approach.” Buku Freeman tersebut dalam waktu relative singkat menarik perhatian para pemikir karena isinya dianggap menggoncangkan paradigma “managerial capitalism” ataupun madzab stategi bisnis yang bertujuan maksimalisasi shareholder value yang dominan saat itu (bahkan masih cukup kuat sampai hari ini). Managerial capitalisme adalah sebuah paradigma mengenai penguasaan perusahaan-perusahaan kapitalistis oleh manager. Managerial capitalsm didefinisikan sebagai perubahan pengelolaan (control) atas perusahaan kapitalis dari pemilik (di era Karl Marx) ke para manajemen eksekutif. Tentu saja undang-undang korporasi yang ruhnya dilahirkan pada era dimana para pemilik (kapitalis) sangat dominan perlu memberikan jaminan bahwa para manajer tersebut bekerja untuk para pemilik. Dalam konteks ini seolah-olah manajemen (dan pemilik) seolah-olah berada dalam satu kubu menghadapi pihak-pihak lain. Jelas sekali bahwa beberapa teori, seperti teori keagenan, ataupun beberapa ideologi, seperti kapitalisme dan sosialisme, sangat dipengaruhi oleh paradigma managerial capitalism tersebut.
Hal itu terlihat jelas dari peran sentral pemilik (shareholders) dan manajemen dalam menjelaskan fenomena bisnis dan ekonomi di masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep dalam teori pemangku kepentingan (stakeholder) yang memandang bahwa kelangsungan perusahaan di dalam lingkungan bisnisnya tergantung pada berbagai pihak pemangku kepentingan yang tidak hanya terbatas pada pemilik dan manajemen, seperti misalnya: pemerinah, karyawan, kreditur, dan konsumen. Institusi tercipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri melainkan memenuhi kebutuhan macam-macam pihak yang ada disekiarnya. Teori stakeholder paling tidak memiliki tiga pendekatan yang saling terkait: deskriptif, instrumental, dan normatif.
Pendekatan teori deskriptif tersebut menguraikan karakteristik dan perilaku organisasi. Misalnya dalam (Jawahar dan Mclaughlin, 2001), kedua peneliti menguraikan peran masing-masing stakeholder pada siklus tahapan bisnis yang berbeda. Pendekatan teori instrumental mencermati data empiris mengenai hubungan antara menejemen kelompok-kelompok kepentingan dengan pencapaian tujuan organisasi. Pendekatan instrumental biasanya bisa dinyatakan dalam kalimat ‘‘jika manajemen berperilaku… maka akan berakibat…’’ pendekatan normatif membahas inti teori serta petunjuk moral etika yang menjadi pedoman manajemen dalam mengelola perusahaan.
Menurut pendekatan ini hubungan antara manajemen dengan stakeholder dilandasi oleh komitmen moral (Berman et al. 1999). Klaim kelompok stakeholders tertentu dilandasi atas pandangan etika tertentu yang tidak selalu terkait dengan tata nilai instrumental stakeholders. Artinya, memenuhi klaim yang dilandasi pandangan etika ini tidak selalu menyebabkan tercapainya kepentingan strategis organisasi.
Beberapa orang menganggap teori pemangku kepentingan bukan ‘‘teori’’ karena tidak memenuhi syarat sebagai teori, yaitu tidak terdiri dari proposisi yang bisa diuji. Mereka menganggap ‘‘teori pemangku kepentingan’’ sebagai kerangka (framework) dimana dari situ bisa ditarik berbagai pemikiran.
Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholder) boleh dikatakan merupakan konsep yang relative baru (fenomena abad 20). Berabad-abad kepentingan pemilik perusahaan (stakeholder) mendominasi pembahasan mengenai korporsi. Bagaimana di bahas di bab 9, corporate charter ataupun UU perseroan terbatas dibangun sebetulnya adalah untuk melindungi pemilik (Korten, 1996). Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholders) konon baru dikenal tahun 1963 dari memo internal di The Standford Research Institute. Istilah ‘‘stakeholders’’ tersebut memang diciptakan untuk membantah pandangan tradisional bahwa pemilik adalah satu-satunya pihak yang memiliki kepentingan dan yang harus dilayani oleh menejemen istilahnya: (it is the fiduciary duty of management to protect the interest of stakeholders). Pemikiran beberapa teori organisasi konvensional diwarnai oleh pandangan tradisional tersebut. Misalnya, (Williamson 1984) menggunakan kerangka biaya transaksi (transaction costs) untuk menunjukan bahwa pemegang saham butuh perhatian khusus dibandingkan (stakeholder lainnya) karena ‘‘asset specifity’’. Begitupula dengan teori keagenan yang pokok bahasanya berpusat pada agency costs yang muncul sebagai akibat adanya kepentingan yang berbeda serta asimetri informasi antara pemilik (principal) dan manajer sebagai agen (agents).
Pemikiran Edward Freeman tentang pendekatan stakeholder dimulai pada saat Freeman bekerja di WARC (Wharton Applied Research Center, 1978 – awal 1980an) setelah Freeman lulus program doctor jurusan filsafat dari Washington University. WARC pada hakekatnya menjalankan fungsi seperti perusahan konsultan untuk berbagai perusahaan . salah satu tugas yang kemudian melahirkan ide tentang pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder approach) adalah pada saat Freeman harus mengembangkan kasus bisnis dan mengajar para eksekutif dari AT&T tersebut ada dua paper dan beberapa kasus bisnis ditulis. Paper pertama, berisi uraian konseptual mengenai pendekatan pemangku kepentingan sedangkan paper kedua, berisi aspek teknis bagaimana cara menggunakan pendekatan stakeholder di perusahaan. Ide-ide dalam paper pertama sangat mempengaruhi penulisan draf buku strategic mangemenet: stakeholder approach pada tahun 1982 (edisi 1 buku ini diterbitkan tahun 1984). Freeman mengaku bahwa dia bukanlah pencipta dan bukan satu-satunya yang menelorkan ide stakeholder karena ide tersebut juga dia pelajari dari Stanford Research Institute.
Pokok pikiran Freeman mengenai pendekatan pemangku kepentigan dapat digambarkan sebagai berikut: ‘‘We were taking the viewpoint of senior management and our view was that if a group of individual could affect the firm (or be affected by it, and reciprocate) then managers should worry about that group in the sense that it needed an explicit strategy for dealing with the stakeholder.’’ (Freeman, 2004). Perhatian utama Freeman pada saat-saat awal pengembangan ide tersebut adalah bagaimana agar para eksekutif perusahaan bisa secara efektif berhubungan dengan para pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, Freeman menganjurkan bahwa dalam merancang strategi unit of analysis yang tepat adalah hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder relationship) dan bukannya tugas teknis ‘‘formulating, implementing, evaluating, etc.’’ (Freeman, 2004) ataupun ide mengenai ‘‘industri’’ (seperti dalam analisis SWOT?). Sejak tahun 1984 perhatian peneliti menjadi semakin meluas walaupun sebagian telah terjadi kesalahpahaman dalam memahaminya. Beberapa kekeliruan tersebut, misalnya (Phillip at al, 2003): (1) ada konflik antar pemegang saham dengan pemangku kepentingan lainnya dan (2) pendekatan pemangku kepentingan seharusnya digunakan untuk merumuskan ‘‘non-shareholder theory of the firm’’ (dan menggantikan paradigma teori sebelumnya yang berbasis shareholder).
Consumer (Pelanggan)
Dengan mengidentifikasi pelanggan, perusahaan akan lebih fokus dalam memberikan produk dan jasa yang diinginkan dan diharapkan oleh pelanggan mereka. Oleh karena itu perusahaan memiliki kepentingan utama untuk mengidentifikasi individu yang menggunakan produk dan jasa mereka (pelanggan, pesaing dan konsumen).Suatu perusahaan tidak akan bertahan lama tanpa ada seorang customer. Consumer merupakan target dari suatu perusahaan untuk menjualkan hasil produksinya. Untuk menarik seorang consumer, suatu perusahaan harus menyediakan produk dan layanan yang terbaik serta harga yang bersahabat. Misalnya, suatu oragnisasi dapat memiliki kekuatan yang sangat baik, apalagi jika kondisi pelanggan tidak dapat memperoleh barang/jasa subtitusi yang baik pula.
Corporate Social Responsibility
Ada bebeapa macam definisi. Misalnya, (Bowen, 1953) menyatakan bahwa CSR merujuk kewajiban perusahaan bisnis untuk menjalankan kebijakan dan untuk membuat keputusan yang diharapkan dalam konteks untuk mencapai tujuan dan nilai-nilai masyarakat. (Wood, 1991) menyatakan bahwa ide dasar CSR adalah bahwa perusahaan dan masyarakat adalah saling terhubung dan bukan merupakan entitas yang terpisah. Sementara (Baker, 2003) menyatakan CSR adalah mengenai bagaimana perusahaan mengelola proses bisnis untuk menciptakan dampak positif kepada masyarakat secara keseluruhan. Tampak bahwa dari semua definisi mengenai CSR yang dikutip tersebut satu hal yang tampak jelas adalah bahwa perusahaan tidak bisa lagi mengabaikan kepentingan pihak- pihak diluar pemilik.
Ada berbagai variasi kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai CSR. Dari sisi perspektif jangka panjang secara umum kegiatan-kegiatan CSR tersebut memiliki tiga ciri-ciri sebagai berikut:
- CSR merupakan bagian perspektif jangka panjang mengenai keuntungan ekonomis yang tidak mudah diukur walupun bisa memberikan asset berharga yang bisa menghasilkan keuntungan profit pada masa yang akan datang.
- CSR berkaitan dengan hal yang tidak terbatas pada ketentuan hukum, teknik dan ekonomi yang biasanya sempit. Oleh sebab itu mematuhi peraturan tidak serta merta membuat sebuah perusahaan dianggap bertanggung jawab sosial. CSR merupakan ekspresi tindakan yang bersifat suka rela, bukan karena dipaksa pemerintah. CSR menunjukan bahwa perusahaan sudah melampaui batas minimal kepatuhan atas standar dan peraturan umum. Jadi CSR ada pada domain kewajiban moral atau prinsip-prinsip normative.
- CSR dilakukan karena ada kesadaran bahwa perusahan memiliki tanggung jawab kebada semua stakeholder yang bisa ditentukan memiliki klaim baik secara hukum ataupun moral Jones 1999.
Hal yang di klasfikasi adalah bahwa CSR bukan kegiatan ‘‘corporate philanthropy’’. Corporate philanthropy pada hakekatnya adalah kegiatan perusahaan untuk menyumbangkan kembali (giving back) laba yang telah diperolehnya kepada masyarakat sebagai ungkapan terima kasih atas input yang diperoleh dari masyarakat. Corporate philanthropy adalah penerapan prinsip sumbangan dari pihak yang kaya kepada phak yang kurang beruntung (Mitnick, 1995). Walaupun ada perbedaaan tersebut, beberapa penulis mengatakan bahwa CSR meliputi tapi tidak terbatas pada corporate philanthropy (Carroll, 1991).
CSR juga tidak sama dengan ‘‘sustainable development’’. Konsep sustainable development lebih berkaitan dengan ide untuk penyelamatan planet bumi yang memiliki sumber daya terbatas. Bank Dunia mengartikan sustainable development sebagai pola pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dengan tidak mengorbankan kesempatan bertahan hidup secara nyaman dimana depan. Jika konsep sustainable development diterapkan ditingkat organisasi maka kegiatan-kegiatan akan terlihat pada kebijakan untuk menghemat energi, menghindari pembungkus plastik, memperbanyak komponen bahan yang bisa didaur ulang, dan mengurangi polusi. Sama halnya dengan corporate philanthropy, CSR juga meliputi tapi tidak terbatas pada sustainable development. Dalam kaitannya dengan teori stakeholder, melakukan CSR bisa dianggap sebagai upaya perusahaan atau organisasi untuk menjadi warga yang baik didalam lingkungannya dengan melakukan transaksi yang bersifat simbiose mutualisme dengan semua pihak di dalam lingkungannya. Ditinjaun dari ‘‘pendekatan instrumental’’ teori stakeholder (yang menyatakan bahwa mengelola kepentingan para stakeholder merupakan praktek bisnis yang baik karena bisa membuat perusahaan yang menjalankan stakeholder managemen akan mengalahkan pesaing yang tidak mempertimbangkan kepentingan stakeholder), maka CSR dapat dibaca sebagai upaya untuk mendapat kinerja keuangan yang lebih bagus. Sayang sekali data empiris tidak bisa secara sederhana menunjukan hubungan kualitas antara CSR dengan kinerja keuangan (Wood, 1995). Hubungan antara CSR (dan juga kebijakn corporate philanthropy) dengan kinerja kuangan tidaklah linier. Bilamana investor menganggap bahwa pengeluaran perusahaan untuk keperluan CSR sudah terlalu tinggi, maka mereka cenderung menarik modalnya.
Tanggung jawab sosial berkaitan dengan hal kelestarian lingkungan. Beberapa hal yang biasanya dilakukan perusahaan adalah memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar seperti di bidang pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan bantuan sosial.
Penting bagi individu yang berkecimpung di dunia entrepreneur atau calon entrepreneur untuk mengetahui tentang para stakeholder mereka dan bagaimana tanggung jawab sosial kepada para stakeholder agar terbangun kerjasama yang kuat antara keduanya demi mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan agar maksimal.
Kritik dan kesalah-pahaman mengenai teori pemangku kepentingan:
• Setelah tahun 1984 stakeholder theory semakin banyak dikenal oleh kalangan praktisi (eksekutif) ataupun akademisi sejalan dengan semakin meningkatnya demokratis di banyak negara (dimana konsumen dan masyarakat semakin bebas bicara), sumber daya alam yang menipis, polusi yang makin parah, dan masalah-masalah lain yang sekaligus menerpa semua komponen lingkungan bisnis. Teori stakeholder sepertinya mampu menawakan ‘‘jawaban yang disukai’’ sebagian besar stakeholder atas masalah-masalah tersebut. Sementar itu, teori lain seperti teori keagenan yang cenderung memberi solusi untuk kepentingan ‘‘principal’’ (bisa pemilik atau stakeholder) dianggap kurang memprhatikan kepentingan pihak-pihak diluar pemilik. Namun begitu stakeholder theory bukan tanpa kritik walaupun sebagian kritik konon karena kesalahan dalam memahami stakeholder theory. Berikut ini ada beberapa kritik terhadap stakeholder theory (disaringkan dari working paper Parmar at al, 2010.
• Stakeholder theory is an excuse for managerial opportunism (Jansen, 2000). Manajemen bisa berargumentasi bahwa tindakannya bermanfaat karena bisa memberi lebih banyak pihak (stakeholders). Dari sisi lain, bilamana ada mismanajemen (misalnya karena ada moral hazard – lihat bab tentang Teori Kegenan) sehingga nilai perusahaan turun, manajemen akan bisa berkelit karena perusahaan harus memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.
• Stakeholder theory is primarily concerned with distribution of financial help. Stakeholder theory menekankan pembahasan pada aspek ‘‘siapa mendapatkan apa’’.
• All stakeholder must be treated equally. Pandangan ini kelihatanya bermula dari pemikiran di dalam stakeholder theory bahwa perlu dijaga keseimbangan kepentingan para pihak minoritas. Jelas secara normative teori stakeholder lebih berkepentingan pada terjadinya ‘‘keseimbangan’’ bukan perlakuan atau distribusi nilai yang sama ke semua pihak.
• Stakeholder theory memerlukan perubahan mendasar atas hukum yang ada sekarang. Hukum korporasi (undang-undang perseroan) terbatas dibayak negara dirancang dengan sudut pandang (dan untuk kepentingan) pemegang saham (shareholders). Penerapan (pendekatan normative) teori stakeholder dalam praktek bisnis berpotensi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, terkecuali jika aturan korporasi dirubah yang sesuai dengan pendekatan stakeholder theory.
Lack of Specifity. Selain kritik yang disampaikan oleh (Parmer at al. 2010) di atas beberapa ilmuan sosial lain juga mengajukan beberapa pandangan negative mengenai teori tersebut. Misalnya, (Key, 1999) menyatakan stakeholder theory lemah dalam hal specifity sehingga menyulitkan reviu secara ilmiah. Stakeholder mencangkup hal yang sangat umum sekali. Kepentingan antarkelompok yang sama pun (misalnya macam-macam ‘‘anggota masyarakat’’) terhadap perusahaan bisa bebeda-beda. Pertanyaan kemudian bisa muncul: atas mandat dari siapa manajemen menafsirkan bahwa kelompok tertentu memiliki kepentingan sebagaimana yang ditafsir oleh manajemen sehingga dari situ pihak manajemen merancang suatu kebijakan yang dianggapnya ‘‘tepat’’.
Tipologi Pemangku Kepentingan
Secara umum stakeholder dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, stakeholder primer atau ‘‘Key stakeholder’’ adalah mereka yang pada akhirnya terpengaruh baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, stakeholder sekunder adalah ‘‘Perantara’’, yaitu orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson yang membagi stakeholder menjadi dua. Stakeholder primer, adalah ‘‘pihak dimana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan’’. Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Sementara, stakeholder sekunder, didefinisikan sebagai ‘‘pihak yang mempengaruhi atau di pengaruhi oleh perusahaan’’. Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perushaan. Dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis stakeholder dipandang sebagai individu atau kelompok yang dipengaruhi oleh dan/atau memiliki kepentingan dalam operasi dan tujuan perusahaan.
Dalam pandangan tradisional tentang perusahaan, pemegang saham mayoritas dipandang sebagi pihak yang diakui dalam hukum bisnis di banyak negara, para pemegang saham adalah pemilik perusahaan, dan memiliki kewajiban fidusia yang mengikat untuk menempatkan mereka kebutuhan pertama, untuk meningkatkan nilai bagi mereka. Dalam tua inpu-output model dari korporasi, perusahaan mengubah masukan dari investor,karyawan, dan pemasok menjadi berguna (dijual) output yang pelanggan membeli, sehingga kembali beberapa keuntungan modal untuk perusahaan. Dengan model ini, perusahaan hanya memenuhi kebutuhn dan keinginaan dari emapt pihak: investor, karyawan, pemasok dan pelanggan.
Ada banyak artikel dan buku yang ditulis pada stakeholder. Karya ilmiah terbaru tentang topik teori stakeholder dengan memberikan contoh penelitian termasuk Donaldson dan Preston dan Mitchell, Agle, dan Wood (1997), Friedman dan Miles (2002) dan Philips (2003). Donaldson dan Preston berpendapat bahwa dasar normative dari teori ini, termasuk ‘‘identifikasi pedoman moral atau filosofi untuk operasi dan manajemen perusahaan’’, adalah inti dari teori. Mitchell dkk menurunkan suatu tipologi stakeholder berdasarkan atribut kekuasaan (sejauh pihak memiliki sarana untuk memaksakan kehendaknya dalam suatu hubungan), legitimasi (secara social diterima dan diharapkan struktur atau perilaku), dan urgensi (waktu sensitivitas atau kekritisan klaim stakeholder) dengan memeriksa atribut-atibut ini secara biner, 8 jenis stakeholder berasal bersama dengan implikasinya dari hubungan perdebatan atara stakeholder dan organisasi dengan memperkenalkan kepentingan kompatibel/tidak kompatibel dan koneksi yang diperlukan/kontigen sebagai atribut tambahan yang dapat digunakan untuk memeriksa konfigurasi dari hubungan ini.
Riyadi (2008) menjelaskan dua pespektif berkaitan dengan ‘‘peran bisnis dalam masyarakat’’. Cara pandang Pertama, ‘‘pandangan klasik’’ classical view, yang didasarkan pada teori ekonomi neo-klasik, melihat perhatian bisnis dalam masyarakat murni sebagai pencarian keuntungan, yaitu keuntungan bagi para pemegang saham (shareholder). Cara pandang ini disebut juga sebagai ‘perspektif pemegang saham’. Sebaliknya, ‘‘pandangan pemangku kepentingan’’, yang didasarkan pada teori stakeholder, berkeyakinan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Pandangan klasik memposisikan dua peran pokok yang pertaman bisnis sebagai ‘‘pencarian keuntungan murni’’, dimana bisnis memiliki standar etis yang lebih rendah daipada masyarakat, bisnis tidak memiliki tanggung jawab sosial kecuali kepatuhan pada hukum. Kedua, bisnis sebagai ‘‘pencarian keuntungan yang terbatas’’ dimana bisnis harus memaksimalkan kekayaan para pemegang saham, mematuhi hukum dan memiliki aspek etis. Pandangan klasik melihat bahwa ketidakjujuran hingga pada taraf tertentu dapat diterima karena para pebisnis memiliki standar moral yang lebih rendah daripada masyarakat umumnya. Gertakan khas dunia bisnis (misalnya mengatakan sesuatu secara berlebihan), aksi penipuan merupakan hal-hal yang boleh karena tujuan bisnis tidak lain untuk mencari keuntungan.
Perspektif kedua dalam pandangan klasik ini adalah ‘‘pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas’’. Pendukung pandangan klasik jenis kedua ini diantaranya Milton Friedman yang memandang bahwa perusahaan haruslah bertindak jujur. Kejujuran itu dipahami Friedman dalam kerangka tujuan perusahaan itu sendiri, yang bahkan satunya-satunya, yaitu pencarian keuntungan bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungna bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungan bagi para pemilik saham adalah para manajernya. Karena itu, tidak etis kalau manajer disuruh memikul beban tanggung jawab sosial perusahaan kepada pihak lain selain para pemegang atau pemilik saham. menurut Friedman,menuntut perusahan untuk mengembangkan tanggung jawab akan merusak sendi-sendi sebuah mayarakat yang bebas dengan sistem ekonomi-bebas dan sistem kepemilikan individual. Masalah sosial menjadi ranah negara untuk mengelolanya.
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, fisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial. Kedua, peran perusahaan adalah menghasilkan kekayaan. Pembebanan taggung jawing sosial pada prusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu.
Nilai-Nilai Perlibatan Pemangku Kepentingan
Prof Witold Henisz dari Wharton Business School telah mempelajari manajemen resiko sosial dan politik selama 15 tahun, dengan fokus pada penggunaan strategi bagamaina organisasi menghindar dari resiko dengan studi kasus perusahaan pertambangan. Dalam kajiannya Henisz menggunakan data dari 26 tambang emas yang dimiliki oleh 19 perusahaan publik antara tahun 1993 dan 2008. Melalui coding lebih dari 50.000 ‘‘peristiwa stakeholder’’ yang ditemukan dan dilaporkan media mereka mengembangkan suatu indeks tingkat kerjasama stakeholder atau konflik pertambangan. Dari hasil studi yang dilakukan ditemukan bahwa ada investasi berbasis proyek yang tertunda atau terganggu akibat orang-orang khawatir tentang pasokan air, pola lalu lintas, kerusakan lingkngan dan sebagainya. Henisz juga menyusun sebuah daftar penerapan terbaik untuk bisnis yang serius melibatkan para stakeholder. Pertama, mengubah pola pikir perusahaan sehingga karyawan diseluruh papan percaya bahwa stakeholder kunci. Kedua, mendapatkan data yang diperlukan untuk menjelaskan siapa stakeholder, apa yang mereka inginkan dan yang terhubung ke siapa. Ketiga, menemukan cara untuk membangun jaringan informasi melalui datalink untuk kepentingan kinerja operasi, mengintegrasikan informasi tersebut kedalam sistem manajemen resiko daripada melakukannya sebagai kategori secara terpisah. Keempat, berinteraksi dengan para stakeholder ditingkat masyarakat dengan cara yang asli dan adil merespon kekhawatiran mereka dan koneksi bentuk dari pada hanya menulis cek. Kelima, menemukan cara untuk menyebarkan informasi tentang proyek yang sedang berlangsung secara kredibel dan transparan.
Michael Porter sebagai seorang tokoh terkenal pada strategi bisnis dan daya saing, memperkenalkan konsep ‘‘menciptakan nilai bersama’’ dalam rangka memberikan jalan inovasi bagi praktisi secara berkelanjutan. Menciptakan nilai bersama dikemas ulang dari prinsip-prinsip keberlanjutan, dimana peran dan keteretlibatan stakeholder dalam membangun nilai-nilai bersama sangat penting dalam membangun produk dan inovasi daya saing dalam pasar yang semakin kompetitif. Munculnya pemain lain mengisyaratkan penting nilai-nilai bersama yang perlu disepakati sebagai acuan bisnis untuk menghindari dampak dalam jangka panjang. Tetapi juga menekankan pentingnya mendekati keterlibatan stakeholder sebagai perluasan dari sistem berpikir. Setiap lembaga yang bertahan melakukannya karena ketahan dari sistem dimana ia beroperasi. Ketahan berasal dari keragaman individu atau organisasi dan kuat hubungan atara mereka. Keterlibatan stakeholder merupakan kesempatan untuk membangun dan memperkuat hubungan ini serta memanfaatkan kepercayaan otak kolektif dari sistem, tetapi dengan kata Porter, akan membutuhkan pemimpin dan manajer untuk mengembangkan apresiasi yang lebih dalam kebutuhan masyarakat dan kemapuan untuk berkolaborasi antarkeuntungan atau batas nirlaba.
Konsep bisnis telah mengalami evolusi, dimana nilai-nilai sosial menjadi landasan dalam penetapan berbagai kebijakan, proses hingga hasil yang diperoleh oleh perusahaan. Pertama-tama ada pembedaan antara konsep kewajiban sosial, tanggung jawab sosial, dan kepedulian sosial. Kewjiban sosial berkaitan dengan perilaku atau tindakan perusahaan dalam merespon kekuatan pasar atau ketentuan hukum. Kewajiban sosial bersifat proskriptif/negatif untuk menentukan hal-hal yang dianggap etis tidak boleh dilanggar. Tanggung jawab sosial menuntut adanya kesepadanan antara perilaku perusahaan dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai dan harapan yang diletakan dalam tindakan perusahaan. Sifatnya adalah perspektif/positif yang harus bertindak untuk kepentingan masyarakat. Kepedulian sosial menekankan bahwa yang penting bukanlah bagaimana sebuah perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang seharusnya menjadi peraan perushaan dalam jangka panjang dalam sebuah sistem sosial yang selalu berubah. Ide dasarnya adalah bahwa orientasi bisnis bersifat antisiptoris dan preventif. Dengan demikian peran perusahaan terhadap masyarakat mencangkup tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial, sementara kewajiban sosial lebih terkait dengan kinerja ekonomi murni sebuah perusahaan atau bisnis.
Kesimpulan
Peran sentral pemilik (shareholders) dan manajemen dalam menjelaskan fenomena bisnis dan ekonomi di masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep dalam teori pemangku kepentingan (stakeholder) yang memandang bahwa kelangsungan perusahaan di dalam lingkungan bisnisnya tergantung pada berbagai pihak pemangku kepentingan yang tidak hanya terbatas pada pemilik dan manajemen, seperti misalnya pemerinah, karyawan, kreditur, dan konsumen. Institusi tercipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri melainkan memenuhi kebutuhan macam-macam pihak yang ada disekiarnya.
Teori stakeholder paling tidak memiliki tiga pendekatan yang saling terkait: deskriptif, instrumental, dan normatif. Penting bagi individu yang berkecimpung di dunia entrepreneur atau calon entrepreneur untuk mengetahui tentang para stakeholder mereka dan bagaimana tanggung jawab sosial kepada para stakeholder agar terbangun kerjasama yang kuat antara keduanya demi mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan agar maksimal.
TERIMA KASIH
SEMOGAA BERMANFAAT
SEMOGAA BERMANFAAT